sumber: |
Tanah menjadi cerminan dirinya.
Mereka rela berdarah-darah demi tanah.
Hidup matinya, hanya sebuah proses dari dan menjadi tanah.
Tanah yang hijau, ia ganti dengan beton.
Ia tanam beton, untuk memetik buah uang.
Buah itu ia pakai untuk membeli tanah lagi.
Makin banyak tanah yang ia miliki, makin ia merasa kuat dan besar.
Ada juga yang menghisap tanah.
Mereka yang mengambil tanah orang lain.
Kemudian dihisap sarinya untuk menanam beton.
Setelah sepah dan kering, ia pergi dan kembali ke tanahnya yang hijau.
Ada juga yang memagari tanahnya.
Ia merasa hak, sampai pada keserakahan.
Bahkan ia tak hanya merasa memiliki tanah.
Melainkan ia merasa memiliki manusia-manusia yang ada di tanahnya.
Ada juga sang ahli tanah agama.
Hanya agamanya lah yang boleh tumbuh subur di tanahnya.
Bukan kah seharusnya semakin paham agama, semakin paham tanah?
Kita hanya tahu tanah agama, daripada agama tanah.
Manusia yang tidak memiliki tanah adalah manusia yang lemah.
Manusia tak punya tanah, diragukan nasibnya sebagai manusia.
Ia akan hidup tak selama dan senyaman yang punya tanah.
Bahkan tak lagi berpikir akan hidup dan mati di tanah siapa, diberi nisan atau tidak.
Ada yang lucu dari yang tidak dan punya tanah.
Semakin banyak tanahnya, manusia itu semakin jauh dengan tanah.
Ia hidup di atas tanah yang ditutupi beton dan hijaunya agama mereka.
Mereka tidak tahu tanah dibawahnya kering dan banyak akar tanah agama yang mati.
Ia semakin tidak mengenali tanah.
Bagi yang tidak punya tanah, justru semakin dekat dengan tanah.
Tidur, makan, hingga tidur lagi selalu bertemu dan menyentuh tanah.
Meski bukan tanahnya, mereka lebih mengenal tanah.
Mereka lebih mengenal manusia.
Berbagi tanah, sama dengan membagi kemanusiaan.
Memberdayakan sesama dari tanah sendiri, sama dengan merawat kemanusiaan.
Menghargai tanah, sama dengan menghargai diri sendiri dan manusia sedunia.
Sejatinya, manusia hanya dari dan akan menjadi tanah.
-Moch. Kukuh Susanto, Fisipol UGM
*silakan sajak ini dipakai untuk kepentingan tanah dan manusia*
No comments:
Post a Comment